BannerFans.com

Fiqih Ibadah Haji

Diharamkan sembilan hal dalam ihram, yaitu:

Pertama, mencukur rambut,dengan dalil firman Allah Ta’ala:
ولا تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محله فمن كان منكم مريضا أو به أذى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك
Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban.” (QS. Al Baqarah: 196)
dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Ka’ab bin Ujrah, beliau berkata:

كان بي أذى من رأسي فحملت إلى النبي و القمل يتناثر على وجهي فقال ما كنت أرى أن الجهد قد بلغ منك ما أرى أتجد شاة ؟ قلت لا فنزلت هذه الأية.
Aku mendapatkan gangguan di kepalaku, lalu aku dibawa ke Rasulullah sedangkan kutu-kutu bertebaran diwajahku, lalu beliau berkata:”tidak ku-sangka begitu parah apa yang telah menimpamu, apakah kamu mampu mendapatkan kambing? Aku menjawab :”tidak”, maka turunlah ayat tersebut “(QS. Al Baqarah: 196).

Ibnu Qudamah berkata: “Telah bersepakat para ulama bahwa seorang yang berihram (muhrim) dilarang mengambil rambut kecuali karena udzur (alasan) syar’i.



Dan para ulama berselisih pendapat tentang hukum mencukur rambut selain rambut kepala, apakah termasuk hal-hal yang diharamkan dengan sebab ihram atau tidak menjadi 2 (dua) pendapat:

Pendapat pertama, rambut yang lain sama hukumnya dengan rambut kepala, dengan dalil firman Allah:

ولا تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محله فمن كان منكم مريضا أو به أذى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك
Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban.” (QS.Al Baqarah:196).
Dan qiyas (analogi) mereka berkata bahwa ayat tersebut menunjukkan kepada rambut kepala secara lafazh dan rambut yang lainnya secara qiyas, dan ini merupakan madzhab jumhur.

Pendapat kedua, larangan itu hanya khusus pada rambut kepala, sedang yang lainnya tidak terlarang, dan ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan madzhab Zhahiriyah , mereka berkata: “Tidak benar berdalil dengan ayat tersebut karena ayat tersebut khusus kepada rambut kepala, dan tidak ada penjelasan tentang yang lainnya. Sedangkan qiyas membutuhkan persamaan Illat dalam cabang (furu’) dan pokok (Ashl), kalau kalian menetapkan hal tersebut adalah sebagai kebersihan dan kesenangan, karena mencukur rambut kepala itu akan menghasilkan kebersihan, maka hal itu kurang tepat karena muhrim (orang yang berihram) tidak dilarang makan-makanan yang enak dan baik, padahal hal tersebut juga menghasilkan kesenangan, demikian juga dia boleh memakai jenis bahan pakaian ihram yang sesukanya, dan illat (sebab) Pelarangan mencukur rambut adalah dilarangnya satu syi’ar yang disyariatkan yaitu mencukur atau memangkas rambut setelah selesai umrah atau setelah melempar jumrah Aqabah, dan pendapat ini lebih kuat dari illat yang di atas. Demikian juga asal dari pengambilan manusia rambut-rambut tubuhnya adalah halal, maka kita tidak boleh melarangnya dari hal tersebut kecuali dengan dalil. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dengan perkataannya, “Pendapat ini lebih dekat pada kebenaran”.

Kedua, memotong kuku.
Dalam permasalahan ini tidak terdapat padanya nash , baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, oleh karena itu Ibnu Hazm tidak memasukkannya kedalam hal-hal yang dilarang dengan sebab ihram, akan tetapi jumhur ulama bahkan hampir seluruhnya mengqiyaskan hal tersebut kepada rambut, bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Mundzir menukilkan Ijma’ tentang ketidak bolehan memotong kuku. Akan tetapi syaikh Muhammad Al Amin As-Syinqithy berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

ثم ليقضوا تفثهم و ليوفوا نذورهم و ليطّوّفوا بالبيت العتيق

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj :29)

Yang ditafsirkan oleh sebahagian sahabat dan tabi’in dengan memotong rambut, kuku dan mencabut bulu ketiak. Dan mengatakan: “Menurut tafsir ini maka ayat tersebut menunjukkan bahwa kuku itu seperti rambut bagi orang yang sedang ihram, apalagi dihubungkan dengan kata hubung “tsumma” terhadap penyembelihan hadyu, maka itu menunjukkan bahwa mencukur dan memotong kuku dan yang sejenisnya seharusnya dilakukan setelah nahr (menyembelih pada tanggal 10 Dzulhijjah) pent.. Apalagi kalau benar penukilan ijma’ tersebut maka tidak ada alasan untuk menolaknya.

Ketiga, menutup kepala dengan penutup yang melekat di kepala
Hal itu karena larangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam kisah seorang yang sedang berihram dan jatuh dari ontanya dengan mengatakan :

لا تخمروا رأسه
“Janganlah ditutupi kepalanya”. (HR Bukhari dan Muslim)

Demikian juga hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya tentang apa yang dipakai oleh seorang yang sedang berihram, maka beliau menjawab:
لا يلبس القميص ولا السراويلات ولا البرانس ولا العمائم
“Janganlah dia berihram memakai gamis, celana, baju burnus , dan tidak pula imamah” (HR. Mutafaqqun’alaih)

Imamah dinamakan demikian karena dia menutup seluruh atau hampir seluruh kepala, maka tidak boleh seseorang menutup kepalanya dengan sesuatu yang tidak langsung menempel,dan dibolehkan menggunakan payung atau apa saja yang dapat digunakan untuk berteduh seperti penutup kendaraan dan lain-lainnya.

Keempat, memakai pakaian yang berjahit bagi laki-laki dengan sengaja pada seluruh badan atau sebagiannya dari baju yang menutupi setiap pergelangan dari tubuh sepeti gamis, celana, kaos kaki, kaos tangan dan lain-lain sebagaimana larangan Rasulullah dalam hadits Ibnu Umar ketika beliau ditanya apa yang dipakai seorang muhrim? Beliau menjawab:

لا يلبس المحرم القميس ولا العمامة ولا البرنس ولا السراويل ولا ثوبا مسه ورس ولا زعفران ولا الخفين إلا أن لا يجد نعلين فليقطعهما حتى يكون أسفل من الكعبين
Janganlah seorang muslim memakai gamis, imamah, burnus, celana, pakaian yang terkena wars dan za’faron dan tidak memakai kaos kaki kuli kecuali tidak mendappatkan sandal, makahendaklah dia memotongnya ampai menjadi dibawah dua mata kakinya” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abdil Bar berkata: “Semua yang ada dalam hadits ini telah disepakati oleh ahli ilmu untuk tidak dipakai seorang muhrim selama ihram-nya, dan merekapun bersepakat bahwa yang dimakud dengan khithab dalam pakaian tersebut adalah laki-laki tanpa wanita dan dibolehkan bagi wanita memakai gamis, celana, kerudung dan khuf (kaos kaki kulit ).”

Dalam hadits Shafwan bin Ya’la bin Umaiyah dari bapaknya dia berkata:

ان رسول الله  أتاه رجل اعربي وهو معتمر بالجعرانة و عليه جبة عليها طب او أثر طب فقال رسول الله  ما ترى فى من أحرم بالعمرة وعليه ما ترى ؟ فأوحى الله اليه فلما سرى عفه قال؟ أين السائل ؟ قال انزع جبتك (البخارى)
Sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah seorang A’roby yang sedang berumroh dengan mengenakan jubah (baju) yang ada padanya minyak wangi atau bekas minyak wangi, lalu bertanya: wahai Raulullah apa pendapatmu tentang eorang yang berihom untuk umroh dalam keadaan seperti yang dia lihat? Lalu Allah wahyukan kepadanya, dan ketika sadar beliau bertanya: siapakah orang yang bertanya ? lalu beliau berkata : lepas jubahmu“. (HR Bukhary)

Akan tetapi diberi kemudahan bagi yang tidak mendapatkan sandal dan sarung yang tidak berjahit untuk memakai khuf (kaos kaki kulit ) dan celana sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar terdahulu dan juga hadits Ibnu Abbas.

Dalam hadits Ibnu Umar dijelaskan adanya pengecualian bagi yang tidak memiliki sarung (izaar) untuk memakai celana dan yang tidak mendapatkan sandal untuk memakai khuf (kaos kaki kulit). Dan kebolehan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi mereka berselisih apakah orang yang mengenakan khuf atau celana ketika tidak mendapatkan sarung atau sandal dikenai fidyah atau tidak, terbagi menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, dikenakan padanya fidyah dan ini pendapat madzhab hambali
Pendapat kedua, tidak dikenakan apa-apa dan ini pendapat jumhur dengan dalil pengertian tekstual dari hadits Ibnu Umar dan Ibnu Abbas terdahulu.pendapat inilah yang benar karena keringanan tersebut menunjukkan hilangnya denda atau pengganti
Akan tetapi,jika didapatkan sarung (izaar) maka wajib baginya untuk melepas celana dan khuf-nya,karena dikatakan dalam kaidah:

ما أبيح للحاجة يقدر بقدرها
(apa yang dibolehkaan karena kebutuhan di sesuaikan dengan ukuran kebutuhannya).
Adapun para ulama berselisih tentang permasalahan memotong khuf bagi yang mengenakan khuf ketika tidak mendapatkan sandal menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, wajib memotong khuf-nya sampai dibawah mata kaki. Ini pendapat jumhur Ulama berdalil dengan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
إلا أحد لا يجد النعلين فليلبس الخفين وليقطعهما أسفل من الكعبين
Kecuali seseoarng yang tidak mendapatkan sepasang sandal maka hendaklah memakai khouf dan memotongnya sampai dibawah mata kaki” (HR Bukhory)

Pendapat kedua, tidak wajib memotongnya. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Tholib dan sekelompok dari ulama salaf dan pendapat imam Ahmad bin Hambal, berdalil dengan hadits Ibnu Abbas dalam khutbah Nabi di Arofah:
الخفاف لمن لم يجد النعلين
Khouf bagi yang tidak mendapatkan sepasang sandal” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima, memakai minyak wangi dengan sengaja pada badan,pakaian makanan dan minumannya
Keenam, membunuh hewan buruan,dengan dalil firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai h ad-ya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan” (QS. Al Baqarah: 95-96)

Ketujuh, akad nikah denagn dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب
Janganlah seorang yang muhrim itu menikah dan menikahkan dan melamar”

Kedelapan, bermesraan dengan syahwat diluar kemaluan.

Kesembilan, jima’ (bersetubuh)

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
1 Kitab Manasik 5/146
2 Majmu’ Syarah Muhazzab, An Nawawy, 7/262
3 Lihat Syarhul Mumti’
4 Adwaaul Bayan, 5/404
5 Burnus adalah baju yang memiliki tutup kepala yang bersambung dengan baju

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar