BannerFans.com

Memahami Bid’ah

by Abu Aisyah Al Kediri 

alhamdulillah. Asy-hadu anlaa ilaahaillallah wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh Laa nabiya ba’dahu. Allahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad Kamaa sholaita ‘alaa aali ibrahiim innaka hamidun majiid,Allahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baraktaa ‘alaa aali ibrahiim innaka hamidun majiid.
Amma ba’du.



Tulisan ini adalah bantahan saya terhadap tulisan: http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/

Syari’at Islam adalah syari’at yang sangat mulia. Di mana Allah sangat menyayangi hamba-Nya khususnya umat muslim. Allah memberikan segala bentuk tuntunan baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah ibadah dan juga masalah-masalah yang sama sekali tidak berhubungan langsung dengan ibadah. Allah telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
artinya:“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [Q.S. Al-Maidah:3]

Islam telah sempurna dan jalan ini tidak akan berkurang dan bertambah,sedangkan permasalahan manusia dari waktu ke waktu,dari zaman ke zaman akan terus bertambah. Kita runut saja dari ketika pertama kali semenjak Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam wafat,di zaman para shahabat Al Qur’an belum dibukukan,kemudian Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu membukukannya,sehingga dikenal dengan sebutan mushaf utsmani. Hal ini tentu saja merupakan hal baru dalam agama karena sebelumnya tidak pernah ada pemikiran tentang dibukukannya Al Qur’an hingga menjadi mushaf.

Namun ternyata hal ini bukanlah bid’ah,karena apa yang diijtihadkan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu dan para shahabat ridwanu ‘alaihi ajma’in bukanlah merupakan perkara yang bisa disebut bid’ah. Sebab tidak ada maksud syari’at yang hilang ataupun bertambah dengan adanya pembukuan Al Qur’an ini,malah Al Qur’an bisa tersebar ke seluruh dunia dan manusia banyak mendapatkan hidayah karenanya,dan karenanya pulalah Islam dikenal sampai ke seluruh penjuru dunia hingga sekarang.
Islam adalah salah satu rahmat yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla dari langit kepada manusia.

 Dengan Islam maka orang-orang akan selamat,dan dengan Islam pulalah manusia bisa mengusai dunia ini. Tanpanya hanyalah kerusakan yang terjadi,tanpa Islam maka tidaklah keadilan bisa ditegakkan dan tidaklah akhlaq manusia bisa diperbaiki. Namun ternyata di dalam Islam sendiri setelah munculnya firqoh-firqoh sesat pokok-pokok identitas dan ciri-ciri Islam mulai tersamar. Yang haq dianggap bathil,sedangkan yang bathil dianggap haq. Sunnah dianggap bid’ah dan bid’ah dianggap sunnah. Manusia mulai lupa kepada siapa mereka harus berpaling ketika ada masalah dalam urusan agama ini. Manusia akhirnya hanya mengikut kepada da’i-da’i yang malah menjerumuskan mereka ke dalam jahanam.

Allah hanya meridhai satu agama,yaitu Islam. Dan Allah hanya meridhai orang-orang yang kembali kepada jalan salaful ummah. Yaitu jalan umat generasi terbaik dan di dalam Al Qur’an selalu diulang-ulang masalah Ridha Allah terhadap manusia yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Dalil pertama bahwa Allah ridha kepada siapapun yang mengembalikan urusan mereka,mengembalikan pemahaman mereka kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa salam beserta para shahabatnya adalah

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
artinya:“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [Q.S. At Taubah:100]

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
artinya:“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [Q.S. Al-Maidah:3]

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada-Nya. Yang demikian itu ialah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya” [Q.S. Al Bayyinah:7-8]

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
artinya:“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,sekalipun orang-orang itu bapak-bapak,atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” [Q.S. Al Mujaadilah:22]

Dan masih banyak lagi yang lainnya. Ayat-ayat di atas menyebutkan tentang orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allah. Selalu Allah berfirman dengan beriman dan beramal sholeh. Bukankah banyak yang beriman dan beramal sholeh,jadi setiap orang Islam pasti diridhoi oleh Allah? Ternyata tidak. Karena ada hadits yang menolak bahwa setiap umat Islam pasti selamat.

Syaikh Muhammad Jamil Zainu hafizhahullah dalam buku Al Firqotun Najiyah memberikan dalil-dalil,di antaranya:

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Aku wasiatkan kepadamu agar engkau bertakwa kepada Allah,patuh dan ta’at,sekalipun yang memerintahkanmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu,berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah ia kuat-kuat. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan itulah bid’ah,sedang setiap bid’ah adalah sesat” [HR. Nasa'i dan Tirmidzi,hadits hasan shahih]

Dalam hadits lain
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Ketahuilah,sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan,tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam surga,yaitu Al-Jama’ah” [HR. Ahmad dan yang lainnya. Al Hafizh menggolongkan haditsnya hasan]

Dari riwayat Tirmidzi
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka,kecuali satu yaitu yang aku dan para shahabatku meniti di atasnya” [Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' 5219]

Dari dalil-dalil di atas seolah-olah ayat dan hadits tersebut bertentangan,karena yang di atas dikatakan bahwa Islam sudah pasti selamat,lalu kenapa ada yang sampai masuk neraka? Maka jawabannya juga telah jelas di dalam dalil tersebut. Maksud ayat Al Qur’an di atas yaitu beriman dan beramal sholeh adalah Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti manhaj yang shahih. Inilah yang mengakibatkan keridhaan Allah,inilah yang mengakibatkan seseorang bisa selamat dengannya,dan termasuk golongan pilihan dari 73 golongan sehingga,72 golongan masuk neraka dan 1 golongan masuk ke dalam surga.

Meniti jalan golongan yang selamat hukumnya wajib sedangkan menolaknya adalah berdosa dan termasuk dosa besar bagi mereka yang mengaku Islam tapi tidak mengikuti jalan salafush sholih.

Membantah Syubhat-syubhat
Kemudian ada sekelompok orang,yang mana mereka menyalahkan wahabi dan salafi. Mereka anggap wahabi dan salafi keliru dalam menafsirkan kata-kata bid’ah. Mereka menganggap salah fahamnya wahabi dan salafi ini sangat berat,bahkan bisa menimbulkan perpecahan. Apakah kesalahannya?
Pertama,kata mereka:“Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi &Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an &Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam,apalagi dengan pemahaman secara tekstual,harfiah,tersurat terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut,adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam. Artinya,semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu,dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi &Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.”
Maka saya jawab:Telah saya jelaskan dimuka syari’at Islam telah sempurna. Sedangkan masalah manusia terus bertambah. Sedangkan zaman makin lama makin tersamar antara yang haq dan yang bathil,maka dibutuhkanlah ulama yang bisa menjelaskan mana yang haq dan mana yang bathil. Siapakah ulama-ulama yang bisa menjelaskan ini semua,tentunya mereka yang beramal sholih,dan faham tentang masalah-masalah ushluhuddin,faham masalah-masalah hadits,fiqih dan sebagainya.
Ibadah dan permasalahan di dalam Islam tidak bisa dipikirkan melalui akal semata. Dan tidak setiap orang bisa berijtihad,semuanya harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Justru Allah sendirilah yang berfirman agar kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah ketika kita berselisih.
Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
artinya:“Hai orang-orang yang beriman,ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul,dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [Q.S. An Nisaa':59]

Justru salafi,mengajak manusia untuk menta’ati ulil amri yaitu para ulama yang kembali kepada jalan salafush sholih,yang kembali kepada manhaj yang benar. Mengembalikan maksud dari ayat dan hadits kepada maksud yang diinginkan olehRasulullah shallallahu’alaihi wa salam,bukan maksud ulama,bukan maksud ustadz dan siapapun manusia yang tidak punya hak untuk membuat syari’at ini. Seorang ulama pernah berkata:

“Qiyas itu ibarat makan bangkai,tidak akan boleh dimakan terkecuali dalam keadaan darurat”
Apakah maksud dari mereka ini adalah setiap permasalahan di dalam agama ini harus didahulukan dengan Qiyas? Apabila benar demikian maksudnya,maka ini adalah sebuah kesalahan yang fatal. Apabila maksudnya adalah salafiyin tidak perlu lagi mempelajari apa yang sudah disampaikan oleh para ulama,karena sudah pernah mereka bahas,maka jawaban ini juga tidak masuk akal. Berapa banyak permasalahan fiqih yang sampai sekarang terus berkembang. Sebagai contoh adalah rokok,bagaimana menghukumi rokok? Apakah bisa masalah ini diselesaikan dengan apa yang sudah diuraikan oleh para ulama terdahulu? Tidak tentu saja.
Justru masalah-masalah kontemporer seperti masalah rokok,narkoba,foto dan masalah-masalah yang lainnya perlu pembahasan lagi,terlebih lagi sekarang banyak manusia yang melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Pergaulan manusia semakin luas,teknologi semakin maju dan perkembangan manusia terus menimbulkan berbagai macam persoalan baik itu persoalan dalam masalah agama,maupun dalam kehidupan sosial. Hanya orang bodoh yang menganggap “kita tidak perlu membahas masalah-masalah fiqih lagi”
Kedua,kata mereka:“Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat,adalah masih dapat menerima pengecualian,karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah,sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam” atau “urusan kami”.

Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” ,“dalam urusan kami” ialah kebid’ahan dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’alaa yakni berupa kewajiban,larangan dan pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan),Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim,perkara syariat,Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh umat Islam,ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam.

Sedangkan kebid’ahan dalam hal perbuatan/ibadah yang Allah subhanahu wa ta’alaa telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan. Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga perkara baru,bid’ah,inovasi,kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah subhanahu wa ta’alaa telah diamkan/bolehkan,sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan kebaikan/pahala.

Perbuatan/ibadah yang Allah subhanahu wa ta’alaa telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah,ibadah kebaikan,amal kebaikan,amal sholeh,perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa,perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran,keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban,maka jangan kamu sia-siakan dia;dan Allah telah memberikan beberapa batas,maka jangan kamu langgar dia;dan Allah telah mengharamkan sesuatu,maka jangan kamu pertengkarkan dia;dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu,Dia tidak lupa,maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni,dihasankan oleh an-Nawawi).”
Saya jawab:
Kaidah dalam masalah fiqih adalah:
“Setiap ibadah adalah haram,melainkan ada dalil yang mengharuskannya. Dan setiap urusan dunia adalah halal,terkecuali yang dilarang oleh dalil”
Lalu apa maksud dari ibadah yang Allah Subhanahu wa ta’alaa telah diamkan berarti boleh? Dari mana kaidah ini? Lalu apa maksud ibadah sebenarnya?

Ibadah adalah penghambaan diri kepada Allah ta’alaa dengan menta’ati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya,sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan,baik lahir maupun bathin,yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Dan sebuah amalan ibadah akan diterima apabila ikhlas karena Allah semata dan sesuai dengan tuntunan. [Kitabut Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimy]

Imam Nawawi rahimahullah dalam Arba’in Nawawi menjelaskan tentang hadits pertama dalam kitab Arba’in Nawawi Imam Ahmad rahimahullah berkata:“Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama,yaitu hadits Úmar,hadits Aísyah,dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar),dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).

Niat baik saja tidaklah cukup dalam suatu amalan. Hal ini dengan tegas dijelaskan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.Dari Ibunda kaum mu’minin,Ummu Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha,dia berkata:”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami,maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim:“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami,maka itu tertolak.”
Hadits ini jelas sekali mengatakan urusan (amrun). Urusan apakah yang dimaksudkan oleh rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam kalau bukan urusan agama? Apakah rasulullah shallallahu’alaihi wa salam berbicara tentang masalah cara memasak makanan? Ataukah cara menunggang kuda? Ataukah cara pergi ke Baitullah? Wallahi tidak.

Lihat hadits-hadits berikut:
“Jauhilah hal-hal yang baru (muhdatsat),karena setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”[Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan teksnya milik Abu Dawud 4/201 no. 4608,Ibnu Majah 1/15 No. 42,At-Tirmidzi 5/44 no. 2676 dan beliau berkata bahwa ini hadits hasan shahih dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albaniy dalam Dhilaalul Jannah fii Takhriijissunnah karya lbnu Abi Ashim:no. 27,Lihat Minhaj Al Firqotun Najiyah-Jalan Golongan yang Selamat Syaikh Muhammad Jamil Zainu]

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebagus-bagusnya tuntunan adalah tuntunan Mnbammad dan urusan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”[Dikeluarkan dengan lafadz ini oleh An- Nasa'i dalam As-Sunan 3/188 dan asal hadits dalam Shahih Muslim 3/153. Untuk menambah wawasan coba lihat kitab Khutbat Al-Haajah,karya Al-Albany,Lihat Minhaj Al Firqotun Najiyah-Jalan Golongan yang Selamat Syaikh Muhammad Jamil Zainu]

Dari dalil-dalil di atas jelas masalah ihdaats,muhdats,bid’ah adalah dalam urusan agama. Kalau memang ini adalah segala urusan kenapa Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam menyetarakan Kalamullah dengan tuntunan Muhammad,lalu dikatakan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan? Kalau memang hal tersebut adalah bid’ah secara umum,maka tentunya setiap hal yang baru harus dijauhi. Namun ternyata tidak. Sebab yang dimaksud oleh rasulullah shallallahu’alaihi wa salam adalah bid’ah dalam urusan agama.

Maka dalam masalah ini bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada atau tidak pernah ada pada masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,kemudian disandarkan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,atau disandarkan kepada Islam,yang mana Islam tidak pernah ada satupun dalil yang menshahih-kannya,maka inilah yang disebut sebagai bid’ah yang dimaksud oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Maka dalam beribadah harus dengan 3 hal,yang tanpa 3 hal ini tidak akan diterima. Yaitu niat,ikhlas dan sesuai tuntunan.

Masalah ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah akan dibahas pada selanjutnya jawaban selanjutnya Insya Allah.

Ketiga,kata mereka:“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya:“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Perhatikan perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam,“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah

Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya
Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua,Pertama:perkara baru yang bertentangan dengan kitab,sunnah,atsar para sahabat dan ijma’,ini adalah bid’ah dlalalah,kedua:perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas,maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”,Juz I,h. 469)

Imam as Syafii rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat,maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut,maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”

Perhatikan perkataan Imam Syafii rahimahullah “apa yang baru terjadi dari kebaikan” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah
Contoh ibadah ghairu mahdah ,berdoa dan bersholawat
Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa
Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.

Oleh karenanya berdoa dan bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran,keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.
Kita boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam.

Kita boleh bersholawat sesuai dengan kesadaran,keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat ibrahimiyah. Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa salam”. Contoh sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah yang artinya “Ya Allah,limpakanlah shalawat atas Nabi kami,Muhammad,selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ””
Saya jawab:
Tidaklah setiap golongan atau firqoh-firqoh sesat melainkan mereka selalu membawakan dalil shahih untuk mendukung pendapat mereka,sedangkan yang berbeda dengan pemahaman mereka,maka mereka tolak atau bahkan mereka tafsirkan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak pernah ditafsirkan demikian sebelumnya oleh para ulama. Berbeda dengan ahlussunnah wal jama’ah,firqotun najiyah,salafush sholih,mereka membawakan dalil untuk mereka fahami,kemudian mereka amalkan. Jadi para salafush sholih malah melihat dalil dulu baru beribadah,bukan beribadah dulu baru memilih dalil. Inilah perbedaan yang mendasar antara ahlussunnah dan ahlu bid’ah pada umumnya.

Contohnya adalah,mereka membawakan dalil
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya:“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Yang kemudian dalil ini mereka jadikan berpijak atas perilaku mereka. Apa perilaku mereka ? Yaitu berbuat bid’ah,yang mereka anggap bid’ah itu adalah ibadah ghairu mahdhah.

Untuk definisi ibadah sudah saya jelaskan di awal. Lalu apakah maksud dari ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah? Ibadahmadhah adalah setiap bentuk ibadah yang terkait ritualisasi seperti sholat,puasa,wudhu dan sebagainya. Sedangkan ibadahghairu mahdhah adalah kebalikan dari ibadah mahdhah,yang bentuknya bukan ritualisasi.

Perhatikan ini!!
Para ulama menjadikan perkara ibadah menjadi dua macam. Macam pertama adalah ibadah yang murni ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu,tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah shalat,puasa,dan dzikir. Ibadah jenis pertama ini tidak boleh seseorang membuat kreasi baru di dalamnya,sebagaimana nanti akan dijelaskan.
Sedangkan macam kedua adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan murni ibadah). Macam kedua ini,asalnya adalah perkara mubah atau perkara dunia. Namun karena diniatkan untuk ibadah,maka bernilai pahala. Seperti berdagang,jika diniatkan ikhlas karena Allah untuk menghidupi keluarga,bukan semata-mata untuk cari penghidupan,maka nantinya bernilai pahala. [Lihat pembahasan dalam kitab Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah,Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz AL Jibrin,hal. 39-40,Maktabah Al Mulk Fahd,cetakan pertama,1425 H—sumber muslim.or.id]

Maksud dari hadits tentang barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapat pahala…dst,bukan berarti merintis ibadah. Ingatlah dalil-dalil yang sudah saya kemukakan di atas,bahwa Islam sudah sempurna dan karena itulah tidak perlu ditambah-tambahi. Dan setiap urusan dalam agama tertolak terkecuali ada dalilnya,maka maksud dari sebuah perkara yang baik ini adalah baik di mata Allah dan Rasul-Nya yaitu sesuai dengan dalil. Sebab hadits ini ada padanannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:“Demi Allah! Jika Allah memberikan hidayah (kepada) seseorang dengan perantara dakwahmu,itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah” [Hadits shahih,muttafaqun 'alaih—sumber islam-]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk,maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” [Hadits Shahih,Riwayat Muslim no. 2674].

Inilah maksud dari merintis sesuatu. Bagaimanakah seseorang mengetahui bahwa hal yang dilakukannya baik selain dengan pertimbangan dari Al Qur’an dan As sunnah,sesuai dengan petunjuk nabinya? Apakah ia mengadakan perkara-perkara sendiri seperti “bersholawat 4000x” misalnya. Apakah hal ini baik? Darimana dia bisa tahu baik? Ingatlah Islam telah sempurna dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak lagi menerima wahyu,dan beliau telah menyampaikan seluruh hal yang telah beliau terima dari Rabb semesta alam untuk disampaikan kepada umatnya. Tugas beliau telah selesai,lalu kemudian ada manusia yang hidup di zaman ini membuat sesuatu yang tidak pernah beliau sampaikan sebelumnya. Bagaimana tanggapan Anda terhadap orang ini? Sungguh orang ini benar-benar durhaka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Seolah-olah ia lebih tahu perkara yang baik yang mana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tidak lebih mengetahuinya.

Ustadz Firanda hafizhahullah menyampaikan di dalam blog-nya pada catatan “Semua Bid’ah adalah Kesesatan”:

“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan”termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen),tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen),dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin…maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat,dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin” (Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206)

Tentang masalah sholawat,sesungguhnya sholawat sendiri sudah ada dalil shohih yang menjadi tuntunannya. Di mana dalil shohih tersebut berulang kali para shahabat bertanya tentang tata cara bershalawat. Sekarang bagaimana hukumnya apabila ada dalil shohih kemudian bertemu dengan qiyas?

Sebagai contoh ada orang yang membuat sholawat-sholawat sendiri,seperti sholawat badar,sholawat nariyah,kemudian ada dalil shohih tentang sholawat,maka manakah yang diambil? Qiyas ataukah dalil? Seluruh ulama dan ijma’akan mengambil dalil yang shohih tersebut. Masalah sholawat-sholawat yang shahih sudah saya bahas di hal yang lain.

Syubhat Bid’ah Hasanah
Ustadz Firanda hafizhahullah menuliskan dalam pembahasan Syubhat-syubhat Para Pendukung Bid’ah:
Dari Harmalah bin Yahya berkata,“Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata,“Bid’ah itu ada dua,bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”,dan Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”(Hilyatul Auliya’9/113)

Pertama :Sangatlah jelas bahwasanya maksud Imam As-Syafi’i rahimahullah adalah pengklasifikasian bid’ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob:”Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)”. Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua :Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi’i rahimahullah ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa’wa Al-Lughoot (3/23)
“Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk,yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma’,maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan,tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”(lihat juga manaqib As-Syafi’i 1/469)
Lihatlah Imam As-Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa bid’ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi’i menghendaki dengan bid’ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah,yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus,karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid’ah jika ditinjau dari sisi bahasa.

Berkata Ibnu Rojab,“Adapun maksud dari Imam Asy-Syafi’i adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwasanya pokok dari bid’ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syari’ah yang bisa dijadikan landasan,dan inilah bid’ah yang dimaksudkan dalam definisi syar’i (terminology). Adapun bid’ah yang terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi bid’ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 267)

Ketiga :Oleh karena itu tidak kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid’ahpun dari bid’ah-bid’ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid’ah hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid’ah hasanah bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku bid’ah zaman sekarang ini.

Membahas Tauhid dan Bid’ah Lebih Urgen daripada Membahas Selainnya
Kedua hal ini,yaitu Tauhid dan Bid’ah adalah dua hal yang sangat penting untuk dibahas. Karena keduanya adalah pokok dan akar permasalahan umat saat ini. Kita lihat betapa banyak orang-orang yang masih berbuat syirik. Betapa banyak juga orang-orang yang masih berbuat bid’ah,mereka beribadah yang mana ibadah itu tidak sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Padahal mengaku sebagai umat Muhammad Shallallahu’alaihi wa salam adalah konsekuensi dari makna Syahadat Asy-haduanna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.

Oleh karena itulah kecintaan kita terhadap Islam,terhadap ajaran yang mulia ini dimulai dari sini. Dengan seseorang berlepas diri dari bid’ah,maka ia telah kembali kepada jalan yang benar. Ia telah menjadi pewaris sunnah,karena setiap bid’ah mengandung tuduhan keji,yaitu menganggap rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam khianat dalam menyampaikan risalah.

Karena itulah demi menjaga ajaran ini para muhaddits telah mengumpulkan hadits-hadits nabi dan telah meneliti para perawi serta sanadnya dengan sedetail-detailnya. Tidaklah agama ini akan terjaga terkecuali oleh para ahli hadits. Dan para ulama pun mengatakan tiadalah ahlussunnah melainkan mereka adalah ahli hadits. Di akhir zaman ini,setiap manusia mengaku mereka kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Tidaklah itu Syi’ah,tidaklah itu Murji’ah,tidaklah itu Mu’tazilah,tidaklah itu Jahmiyah,mereka semua mengatakan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Hal itu mereka lakukan agar mendapatkan banyak pengikut. Namun tafsiran-tafsiran yang mereka kemukakan jauh daripada apa yang menjadi maksud dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wa salam dan para shahabatnya.

Maka dalam beragama tidaklah lepas dari 3 hal,yaitu Al Qur’an,Al Hadits dan perkataan para shahabat,dalam hal ini bagaimana para shahabat memahami dalil dan mengamalkannya. Apabila seseorang mendapati ketiga hal itu ada pada dirinya,maka selamatlah ia—insya Allah.

Sebab-sebab Timbulnya Bid’ah di Kalangan Kaum Muslimin
1. Ghuluw
Tidaklah bencana bagi seorang muslim sehingga ia melakukan ghuluw,yaitu sikap berlebihan. Dengan sebab inilah kita bisa lihat bagaimana dengan mudahnya seseorang mengkafirkan saudaranya sendiri lantaran ia tak sefaham dengan pendapatnya,dan dengan mudahnya ia mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang paling sholih dan yang paling beriman,selainnya kafir. Kita bisa jumpai hal ini pada kelompok-kelompok khawarij.

Apakah khawarij hanya ada pada zaman Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu saja? Tidak. Justru khawarij akan tetap ada sampai akhir zaman. Dan mereka pada setiap zaman akan ditumpas habis,kemudian muncul lagi lalu ditumpas habis,seterusnya,sampai muncullah Dajjal dan mereka akan menjadi pasukan-pasukan Dajjal.

Selain khawarij,ada pula kelompok-kelompok yang ghuluw dalam beribadah,seperti orang-orang thoriqot sufi. Mereka beribadahnya masya Allah,dzikirnya ribuan,sholatnya semalaman,namun apa yang mereka lakukan tidaklah ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Demikian juga kelompok Jabriyah maupun Qodariyah,demikian juga Syi’ah yang memiliki sifat berlebihan kepada ahlul bait.
Seseorang yang mempunyai sifat berlebihan mereka sedikit demi sedikit akan seperti para ahlu bid’ah lainnya. Orang yang terlalu keras ibadahnya,maka ia akan cepat mengalami futur. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam memberitahukan bahwa orang yang ghuluw bakal kalah.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa salam bersabda:“Rusak binasalah orang-orang yang suka berlebih-lebihan -melebihi kadar kemampuan dirinya sendiri-.”Beliau Shallallahu’alaihi wa salam menyabdakan ini tiga kali. [Riwayat Muslim] Almutanaththi’una yaitu orang-orang yang berlebih-lebihan dalam segala perkara. [Riyadhus Shalihin Bab 328 Makruhnya Memaksa-maksakan Keindahan Dalam Bercakap-cakap Dengan Jalan Berlagak Sombong Dalam Mengeluarkan Kata-kata Dan Memaksa-maksakan Diri Untuk Dapat Berbicara Dengan Fasih Atau Menggunakan Kata-kata Yang Asing -Sukar Diterima- Serta Susunan Yang Rumit-rumit Dalam Bercakap-cakap Dengan Orang Awam Dan Yang Seumpama Mereka Itu,Pustaka Amani Jakarta]
Contohnya telah banyak. Orang-orang yang dahulu keras dan ghuluw,akhirnya mereka pun akan jatuh kepada kefuturan. Mereka yang dulunya sering sholat setiap malam,namun kemudian futur karena mereka terlalu ghuluw dalam beribadah.

2. Senang Dipuji
Salah satu bencana seorang muslim sehingga timbul pada dirinya sebab-sebab bid’ah adalah senang dipuji. Sebab apabila seseorang dipuji,maka ia merasa besar dan merasa dirinya lebih beriman,lebih sholih daripada orang yang lain. Sedangkan para salaf bukanlah orang yang gila pujian.

Dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu bahwasanya ada seorang lelaki disebut-sebut namanya di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa salam,lalu ada lelaki lain memujinya dengan menunjukkan kebaikannya,kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa salam bersabda:“Celaka engkau,engkau telah mematahkan lehernya.”Beliau shallallahu’alaihi wa salam mengucapkan ini berulang-ulang. Selanjutnya sabdanya lagi:“Jikalau seorang diantara engkau semua perlu harus memuji,maka hendaklah mengatakan:“Saya kira ia adalah demikian,demikian,apabila memang orang itu diketahuinya benar-benar seperti itu,sedang yang kuasa memperhitungkan amalannya adalah Allah juga dan tiadalah seseorang itu akan dianggap suci oleh Allah -hanya disebabkan banyaknya pujian yang diperolehnya dari orang-orang-.”[Muttafaq 'alaih—Riyadhus Shalihin Bab 360 Makruhnya Memuji di muka orang yang dipuji jikalau dikhawatirkan timbulnya kerusakan padanya seperti ujub,tetapi boleh bagi seseorang yang aman hatinya dari sifat demikian,Pustaka Amani Jakarta]

Dan kebanyakan para ahlu bid’ah lebih senang melakukan bid’ahnya dikarenakan mereka ingin dipuji. Sehingga mereka enggan dan segan mengikuti jalan yang benar,karena apabila mengikuti sunnah-sunnah nabinya mereka akan hilang atau lepas dari pujian-pujian yang sebelumnya dulu mereka dapatkan,kemudian mereka takut dikatakan sesat dan dikatakan telah keluar dari kelompoknya dikarenakan kembali kepada sunnah.

3. Gila Popularitas
Gila popularitas termasuk sifat sum’ah,yaitu ingin didengar. Dan ini adalah penyakit hati yang harus diberangus. Karena penyakit sum’ah adalah penyakit yang mana pelakunya akan dimasukkan ke neraka pertama kali oleh Allah Azza wa jalla. Sebagaimana hadits shohih yang masyhur yaitu tentang tiga kelompok orang yang dimasukkan ke dalam neraka pertama kali dari anak Adam,yaitu orang yang mati dalam jihad fii sabilillah namun agar dipuji oleh orang sebagai pahlawan,kemudian orang dermawan yang ingin dipuji kedermawanannya,dan orang qori’,atau pengajar Al Qur’an yang ingin dipuji atau didengar bahwa ia adalah orang sholih yang mengajarkan ilmu dien.

Kenapa saya katakan gila popularitas bisa menjerumuskan orang ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana orang-orang yang gila popularitas seperti para selebriti. Mereka akan melakukan apa saja dengan membuat sensasi,entah itu sensasinya benar adanya,ataupun hanya berita bohong. Mereka senang dengan hal itu,karena mereka ingin popularitas. Dan tak kalah dengan itu semua di kalangan ahli ilmu pun demikian. Mereka yang gila popularitas akan melakukan hal-hal yang akan membuat ia lebih populer di kalangan umat. Sehingga umat pun akan nanggap ustadz atau kyai tersebut. Sehingga tak jarang para ustadz tersebut punya ciri khas dengan cara dakwah mereka,entah itu dianggap ustadz pelawak,atau ustadz kera sakti dan sebagainya. Mereka sedikit sekali memberikan ilmu dalam pengajiannya bahkan setiap pengajian selesai coba tanya siapapun yang mengikutinya,apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut,maka mereka tak akan bisa menjelaskan apa yang baru saja disampaikan.

4. Pengaruh dari luar Islam
Pengaruh dari luar Islam ini banyak. Sebagai contoh orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi menjadi tempat ibadah. Hal ini kita bisa jumpai di Indonesia,juga di Iran di mana kuburan orang-orang sholih dijadikan tempat ibadah.

Imam Bukhari dalam Kitab Sholat meriwayatkan sebuah hadits:

Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Allah melaknat orang Yahudi karena mereka membangun tempat-tempat ibadah di kuburan-kuburan para nabi mereka.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda:“Janganlah engkau semua menjadikan rumah-rumahmu itu sebagai kuburan -yakni tidak pernah shalat sunnah atau membaca al-Quran di dalamnya-,sehingga sepi dari ibadah. Sesungguhnya syaitan itu lari dari rumah yang di dalamnya itu dibacakan surat al-Baqarah.”[Riwayat Muslim,Diriwayatkan oleh Imam Nawawi di dalamRiyadhus Shalihin Bab 183. Anjuran Membaca Surat-surat Atau Ayat-ayat Yang Tertentu,hadits no. 1015,Pustaka Amani Jakarta]
Kalau Anda pergi ke makan para wali,maka tak pelak lagi anda akan lihat kuburan-kuburan mereka dijadikan masjid,dan dibuat sholat! Ini adalah salah satu bentuk bid’ah yang diada-adakan di dalam Islam dan sesuatu yang dibenci oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa salam.

5. Menempatkan akal sebagai hakim atas masalah-masalah syar’i
Salah satu bentuk jeleknya bid’ah adalah menempatkan akal di atas wahyu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah berkata atas hawa nafsu beliau.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
artinya:“Dan tiadalah yang diucapkannya itu merupakan kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain wahyu yang diwahyukan” [Q.S. An Najm:3-4]

Dan tidaklah syari’at bagaimana caranya sholat,bagaimana caranya bersholawat,bagaimana juga caranya beribadah yang lainnya merupakan ijtihad rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Semuanya adalah wahyu yang diwahyukan. Dan kebanyakan manusia yang berbuat bid’ah itu memahami syari’at dengan ra’yu (akal) dan hawa nafsunya. Mereka menganggap ibadah yang pas dengan hati mereka dianggap yang paling benar. Padahal tidak demikian.

Sehingga kita bisa lihat bagaimana kaum sufi yang mendahulukan “perasaan baik” mereka ketika menelaah suatu ibadah yang mereka ada-adakan. Mereka selalu berkata,“Bukankah ini kebaikan?” Sebagaimana yang telah dikemukakan di muka bahwa niat baik saja tidaklah cukup. Tetapi tetap kembali kepada dalil,sudah sesuai dengan dalil atau tidak.
Akibat Bid’ah
Orang-orang yang berbuat bid’ah,maka mereka terkena hukuman yang berat yang mana telah disampaikan oleh rasulullahShallallahu ‘alaihi wa salam dalam sebuah hadits shahih.

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku,maka Allah telah menyiapkan singgasana untuknya di neraka” [HR. Bukhari]

Maka cukuplah ini sebagai pelajaran bagi kita untuk berhati-hati dalam beramal. Orang yang bertakwa maka mereka adalah orang yang berhati-hati dalam setiap hal,baik dalam beramal,dalam beribadah dan dalam hal-hal yang lain. Sebab mereka takut kalau-kalau ibadahnya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa. Bisa jadi ibadahnya tertolak lantaran tidak sesuai tuntunan dan syari’at,bisa jadi ibadahnya tidak ikhlas,karena ada penyakit riya’,ujub,sum’ah. Bisa jadi ibadahnya tersebut tercampuri hawa nafsu. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan dari ini semua.
Kesimpulan
1. Islam telah sempurna,maka siapapun yang menambah ataupun mengurangi sesuatu di dalam dienul Islam,maka dia telah menuduh rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak amanat.
2. Bid’ah adalah perbuatan yang diada-adakan di dalam masalah agama,bukan masalah keduniaan.
3. Ibadah tetap mengacu kepada dalil. Sedangkan ibadah-ibadah ghairu mahdhoh yang ditunjukkan oleh kalangan yang membela bid’ah,mereka malah ada dalil-dalilnya.
4. Sholawat tetap ada tuntunannya.
5. Golongan yang selamat adalah yang kembali kepada apa yang dibawa oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan para shahabatnya.
6. Ibadah itu tidak berdasarkan ra’yu,namun berdasarkan dalil dan pemahaman salafush sholih.
7. Bid’ah adalah sesuatu yang harus kita hindari dan kita berlindung kepada Allah dari hal ini,kemudian kita berusaha menjauhi hal-hal yang bisa menyebabkan seseorang jatuh kepada bid’ah.
8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya,melainkan apapun yang diucapkan beliau shallallahu ‘alaihi wa salam adalah wahyu yang diwahyukan. Demikian juga harusnya sikap seorang mukmin yang beriman kepada beliau,maka tidak selayaknya dalam urusan agama mereka berqiyas. Qiyas boleh dilakukan asalkan tidak ada dalil lagi yang menjelaskan,dan tidak setiap orang berqiyas,namun yang boleh adalah ahlu ilmi yang mana mereka punya kemampuan memilah antara yang haq dan yang bathil dari syari’at ini.


Wallahu a’lam bishawab.

Maraji:

1. Ringkasan Shahih Bukhari dan Muslim di dalam hadits web.4

2. Riyadhus Shalihin Pusta Amani,jakarta

3. Minhaj Al Firqotun Najiyah Syaikh Muhammad Jamil Zainu.

4. Al I’tisham Imam Asy Syathibi

5. Majalah Al Furqon edisi 12 thn 8 terbitan tahun 1430 H/2009 M

6. Kumpulan Fatwa Ulama Al Manhaj

7. Blog ustadz Firanda Andirja http://www.firanda.com

8. blog http://www.muslim.or.id/

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar